Ayat sebelum ini telah menerangkan bagaimana Allah SWT mencela sikap manusia yang kufur akan nikmat-Nya, di mana seharusnya mereka bersyukur agar mendapat nikmat tambahan, namun mereka berpaling dan kembali melakukan kemaksiatan dan pelbagai kemungkaran antaranya menyembah selain Allah SWT. Sikap mereka yang demikian, telah menyebabkan Nabi Muhammad SAW merasa dukacita dan bersedih, inilah yang berlaku kepada Baginda, apabila kita turut sama melakukan maksiat dan enggan mentaati perintah Allah dan Rasulullah SAW. Hal inilah yang akan kita bahas dalam tafsir surah Yasin ayat 76, yakni perihal Allah yang menghibur nabi dikala ia dirundung kesedihan. Berikut Allah berfirman
فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ
- Maka jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahsiakan dan apa yang mereka nyatakan.
فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ
Perjalanan dakwah nabi Muhmmad SAW tidak pernah surut dari lika-liku ujian. Baginda sentiasa mendapat hinaan, baik tentang Allah, ajaran yang Baginda bawa, atau bahkan peribadinya sendiri, hingga kadang-kadang membuatnya bersedih. Di antara tuduhan yang dilemparkan kepada Muhammad SAW, seorang penyair, pendusta, pembohong, gila, bomoh, tukang sihir dan sebagainya.
Dari pelbagai pendapat ahli tafsir, ungkapan "La Tahzan " dibahagikan kepada beberapa isu. Isu pertama: Nabi Muhammad SAW merasa sedih kerana kekufuran mereka kepada Allah SWT, kepada kerasulan Baginda dan kepada al-Quran itu sendiri dengan menuduh sebagai penyair, orang gila, malah dicela dan dikeji, dimaki, diletak najis serta pelbagai seksaan dan ancaman kepada Nabi Muhammad SAW serta umat Islam.
Sedangkan Nabi Muhammad SAW ada seorang yang 'Rahmatan lil A'lamin" sentiasa mencintai umatnya sesuai dengan ayat al-Quran, Surah at-Taubah: 128
وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْۘ اِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Dan janganlah engkau (Muhammad) sedih oleh perkataan mereka. Sungguh, kekuasaan itu seluruhnya milik Allah. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Isu ke-tiga adalah umat Islam adalah manusia yang dijadikan hamba Allah Azza wajalla, sebagai hamba mestilah menyandarkan segala bentuk kesedihan kepada Allah SWT. Hal inilah yang diterapkan oleh Allah kepada para nabi dan orang-orang soleh.
Sebagaimana al-Qur’an juga mengabadikan kesedihan Ya’qub dalam surah Yusuf ayat 86, Allah berfirman:
قَالَ اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ اِلَى اللّٰهِ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Dia (Ya'kub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Mengutip dari Tafsir Kementerian Agama ayat diatas menceritakan bagaimana Ya’qub bersedih atas isu kematian Nabi Yusuf A.S. Ia berkata kepada anak-anaknya yang lain,
“Wahai anak-anakku kalian jangan mencercaku, aku tidak pernah mengadu kepadamu sekalian, begitu juga kepada manusia yang lain tentang kesedihan dan kesusahanku. Sebab aku hanya mengadu kesusahan yang menimpaku kepada Allah SWT"
Isu ke-empat yang boleh diambil ialah tidak berlarutan dalam kesedihan. Ini sekaligus menegaskan bahwa kesedihan itu wajar, yang dilarang adalah larut bahkan terbenam dalam kesedihan itu. Oleh karena itu Al-Biqa’i menerangkan bahwa kata yahzunka (يَحْزُنْكَ) dalam ayat ini, dimaknakan dengan tidak larut dalam kesedihan. Dan cara mengurangkan kesedihan tersebut dengan sesegera mungkin mengingati Allah SWT yang sentiasa bersama.
Dalam kitab Nashaih al-‘Ibad, Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa ada dua kategori kesedihan, ia berkata:
هَمُّ الدُنْيَا بِظُلْمِ القَلْبِ وَهَمُّ الْأَخِرَةِ بِنُوْرِ القَلْبِ
“Sedih karena perkara dunia dapat menggelapkan hati, sedangkan sedih karena perkara akhirat dapat menerangkannya (hati)”
Sehubungan itu, apabila kita dirundung sedih dan dukacita jalan penyelesaiannya, perbetulkan hati. Hati merupakan wadah yang lengkap, ia menampung berbagai macam sikap dan perangai serta perasaan manusia, termasuk rasa sedih. Karena itu, apapun bentuk dari kesedihan kita, hendaklah menyandarkannya kepada Sang Pemiliki Hati. Bahkan Allah sangat ingin hamba-Nya berbicara langsung kepada-Nya. Allah berfirman:
اِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّٰهُ اِذْ اَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْ هُمَا فِى الْغَارِ اِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهٖ لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَاۚ فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلٰىۗ وَكَلِمَةُ اللّٰهِ هِيَ الْعُلْيَاۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Tiada cara lain untuk mengubati hati yang paling hebat adalah mendekatkan diri kepada Pencipta kita dengan memperbanyakan ibadah, membaca al-Quran, berzikir, beristighfar, berselawat dan sabar serta reda pada kehendak-Nya. Seperti dalam hadith:
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
"Siapa yang melazimkan beristighfar, maka Allah jadikan baginya jalan keluar atas segala kesulitannya. Allah juga akan memberikan kelapangan atas segala kesempitan dan kesusahannya. Serta memberinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka." (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim).
Juga dengan mendekat (berteman) pada orang-orang soleh. Sebab, mereka adalah peranan penting yang juga diceritakan al-Quran – seperti dalam QS. Taubah: 40 diatas – untuk menghilangkan kesedihan yang sedang dialami. Disisi lain, juga untuk menilai manakah kawan yang setia bersama, baik dalam keadaan senang maupun susah.
Sebagaimana Abu Bakar yang sentiasa menemani nabi Muhamad SAW, serta mampu menenangkan sahabatnya itu ketika khawatir dengan kejaran orang-orang kafir, disaat yang sama juga sedang bersedih karena diusir dari tempat kelahirannya. Abu Bakar berkata, “jangan bersedih sahabatku, sesungguhnya Allah bersama kita”.
Kesimpulan setiap manusia akan menghadapi pelbagai ujian dan musibah, maka carilah Allah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Terdapat banyak ayat yang sedemikian yang mengajar manusia menjadi hamba-Nya, sayugialah hamba akan menyandarkan segala bentuk kesedihan kepada Allah SWT. Hal inilah yang diterapkan oleh Allah kepada para nabi dan orang-orang soleh.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan